Kajian Asal Mula Tanaman Padi Daerah Flores, NTT
![]() |
Oleh : Fransiskus Riandi Kore KeleMahasiswa Ilmu Administrasi Bisnis FISIP UNDANA |
Konon terdapat dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung hidup keduanya mengemis ke sana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah masa kemarau yang amat panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum (incest), padahal keduanya sekandung. seorang janda Ndoi tersebut membela kedua anak, Pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi. Atas perintah Mosalaki, "tuan tanah", Bobi dan Nombi segera akan ditangkap.
Namun entah kenapa kedua anak itu tiba - tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu keberbagai penjuru kampung. Beberapa hari kemudian, masyarakat menemukan kedua anak itu dibawah lereng keli Nida dan mengejar kedua anak itu secara bersama-sama sambil menghunuskan senjata tajam seperti, parang, panah dan lain sebagainya. Beberapa saat setelah pengejaran, kedua anak itu pun tertangkap dalam keadaan bersimba dara akibat terkenah senjata tajam. Lalu oleh masyarakat, kedua anak itu dibawa ke puncak Gunung Kelinida,wilayah Tana NIDA kecamatan Detukeli Kabupaten Ende, sebuah gunung yang terkesan angker dan jarang didatangi orang. Bobi ditempatkan di bagian timur sedangkan Nombi ditempatkan di sisi barat. Perjaka dan dara yang yatim piatu itu dibunuh dan dicincang sebagai silih dan tebusan atas dosa dan kenistaan mereka dengan harapan hujan segera turun membasahi bumi yang sedang gersang itu. Namun, setelah lama mengorbankan kedua anak yatim piatu itu, hujan tak kunjung datang jua. Bahkan kemarau semakin garang saja. Mosalaki, "Tuan Tanah" beserta seluruh warga kampung semakin gelisah. Mereka semua khawatir, jangan sampai Bobi dan Nombi yang tidak berdosa itu hidup kembali. Pada suatu hari Mosalaki memanggil seluruh warga untuk bermusyawarah lagi. Mereka bersepakat untuk menengok kembali jenazah Bobi dan Nombi yang dicincang di puncak Gunung Kelinida. Sebab, mereka semakin bingung saja karena Hujan pun tak kunjung datang. Berangkatlah orang-orang sekampung ke puncak Gunung Kelinida. Setibanya di puncak Gunung Kelinida yang datar itu, tampaklah hamparan tanaman serupa ilalang yang berbuah lebat dan menguning matang. Tanaman itu tepat di lokasi pembunuhan Bobi dan Nombi. Tanaman sejenis itu belum pernah mereka lihat. Akhirnya, mereka sepakat untuk membawa pulang dan merahasiakan "bulir-bulir rumput ilalang" itu. Setelah dikupas oleh Ndale dan Sera, tampaklah biji-bijian yang berwarna putih dan merah yang diasosiasikan oleh mereka penjelmaan daging dan darah Bobi dan Nombi. Walaupun demikian, setiba mereka semua di kampung, tidak seorangpun yang berani menyantapnya. Setelah bermusyawarah kembali bersama Mosalaki, mereka sepakat agar "makanan" baru yang sudah dikupas itu diuji coba makan oleh janda saja. Dasar perhitungannya, jikalau si janda itu nanti mati keracunan "makanan" baru itu, niscaya kecil resiko dan tidak ada orang yang menuntutnya. Janda Pare pun dipanggil.
Pada mulanya Pare enggan dan menolak makan karena Ia juga takut mati. Namun, karena ia diancam oleh Mosalaki dan warga kampung itu, pada akhirnya Pare pasrah dan rela makan dengan syarat, biii-bijian itu harus dikupas dalam jumlah banyak. Dengan demikian, seandainya ia harus mati, ia telah cukup puas menyantapnya. Dengan perasaan yang sangat cemas, percobaan menyantap biji-bijian yang dilakukan oleh Pare disaksikan oleh semua orang. Usai mencicipi segenggam, dua genggam, tiga, bahkan sampai beberapa genggam, wajah Pare justru berseri-seri. Percobaan makan itu diikuti oleh Wole, juga janda sebatang kara yang memang meminta dan menikmati biji-bijian baru itu. Menyaksikan Pare dan Wole makan dengan penuh gembira, orang-orang sekampung itu berminat keras untuk turut menikmati makanan baru itu. Jadilah biji-bijian yang baru itu "menjelma" menjadi makanan utama bagi seluruh masyarakat kampung itu. Kemudian, disusul pula dengan amanat agar tanaman itu ditanam melalui ritual atau upacara khusus sebagai penghormatan dan rasa syukur serta harus diwariskan kepada anak cucu.
Masyarakat di sekitarnya yaitu mereka yang ada di daerah Lise, Mbuli, dan Tenda pun akhirnya mendengar berita yang menggemparkan itu. Mereka segera mencari dan menjejaki asal-muasal makanan baru yang lezat itu. Setelah ditemukan, biji-bijian itu pun dibawa pulang dan diamanatkan juga kepada anak cucu mereka agar cara menanamnya harus dicampuri dengan batu hitam dan emas. Selain itu, pada masa panen usai, makanan itu harus dipestasyukurkan secara adat pula. Dalam pesta panen itu, darah ayam dikorbankan untuk mengenang Bobi dan Nombi. Sebelum pesta syukur panen itu, hendaknya diawali dengan remba ngenda (sumber: Mbete, 1992:13-15; Orienbao, 1992:120-123). Dari berbagai versi sejarah yang masih samar juga menyebutkan secara rinci bahwa; Darah yang berasal dari Bobi dan Nombi menjelma menjadi Beras merah (Pu'u Pare) yang mewakili setiap ritual adat Lio, sedangkan tulang belulangnya menjelma menjadi Ubi kayu dan ubi jalar atau umbi-umbian (uwi kaju dan ndora, rose dll), giginya menjelma menjadi jagung (jawa), rambutnya menjelma menjadi jagung solor (lolo wete) serta jantungnya menjelma menjadi pisang (muku) dan lain sebagainya.
Kelinida yang menjadi saksi sejarah juga disebut kelindota. Disebut Keli Ndota karena di gunung (keli) ini telah terjadi pembunuhan terhadap kedua anak manusia dengan cara dicincang (Ndota) menjadi onggokan daging sehingga menjelma menjadi makanan pokok masyarakat Lio.
Perlu diutarakan bahwa selain versi Bobi dan Nombi di atas, masih ada juga versi Ine Pare yang lainnya. Versi bahasa Indonesia ini diterjemahkan dan diringkas dari teks Bobi no'o Nombi edisi bahasa Lio, berbentuk puisi sebanyak enam puluh satu bait karya Mbete (1992). Mitos adalah sastra dan juga sejarah suci yang melandasi kesadaran dan kepercayan kolektif (Dhavamony, 1998:152-153), dalam hal ini sejarah suci dan sastra suci Lio-Ende. Makna yang ada di baliknya adalah bahwa sesuatu yang memiliki nilai tinggi, misalnya nasi, beras, atau Padi dalam komposisi dan pola makanan suatu komunitas etnik tertentu, atau yang secara sosio-fungsional mengandung makna dan nilai tertentu, menjadi simbol dan reprentasi nilai dasar berkorban dan pengorbanan bagi sesama. Dalam konteks ini, pengorbanan yang dimaksudkan adalah pengorbanan sepasang manusia, Bobi dan Nombi, yang rela dibunuh dan dicincang atas dasar fitnahan melakukan perbuatan mesum kendati belum dapat dibuktikan oleh hukum dan peradilan adat. Pengorbanan jiwa-raga mereka dalam konteks mitos ini, yang melalui penjelmaan mistis, jelas dimaknai sebagai berkorban demi kehidupan orang banyak yang kelaparan karena kemarau panjang. Baik pada versi Bobi dan Nombi maupun versi Ine Mbu, terkandung ideologi atau nilai filosofi dasar kehidupan manusia, dengan pengorbanan menjadi inti pesan, Ideologi itulah yang menjadi dasar atau inti makna dari mitos itu. Dalam kaitan dengan ritual perladangan, teks di atas secara tersurat menyatakan amanat yang terpenting bagi komunitas peladang Lio-Ende. Inti pesannya adalah bahwa sebelum menanam padi, hendaklah ada ritual atau upacara khusus, upacara dengan darah ayam atau hewan korban lainnya yang layak. Dalam persiapan pelaksanaan ritual itu, khususnya ritual penanaman padi ladang, hendaknya batu lambang kesuburan, watu wini digunakan bersama emas (wea) dalam wadah benih padi ladang itu. Selain amanat tentang upacara dan peralatan upacara penanaman padi, batu kesuburan dan emas untuk "dicampurkan"dalam benih padi, yang diwadahi dengan benga pare, ada pula amanat lain sebagaimana tertera dalam teks di atas. Amanat yang dimaksudkan itu adalah bahwa bagi semua pewaris dan keturunan antargenerasi, pi welu pi hendaklah saat melaksanakan tahapan upacara itu: mulai tahapan penanaman, tahapan pemeliharaan atau panen perdana, dan tahapan pemanenan akhir, secara tegas diperintahkan agar upacara itu dilakukan secara teratur setiap tahun sesuai dengan tata cara atau prosedur tetap dan baku . Upacara atau ritual padi itu dimaksudkan dan ditujukan untuk mengenang dan menghormati Bobi dan Nombi atas jasa-jasa dan terutama pengorbanan mereka. Mereka dengan rela dan ikhlas, kendati difitnah, dibunuh dan dicincang, hancur, dan "menjelma" serta bertumbuh menjadi tanaman padi; tanaman yang kemudian dapat dibudidayakan, dikembangbiakkan, dan terutama menjadi makanan pokok bergizi tinggi yang paling lezat di antara makanan lainnya. Lebih daripada itu, makanan itu pula yang memiliki fungsi dan nilai sosial-budaya tertinggi bagi komunitas peladang Lio-Ende.
Gambaran Singkat tentang Ritual Perladangan Berdasarkan bukti arkeologis, padi dan sejumlah tanaman biji-bijian adalah tanaman liar musiman atau tahunan yang berasal dari Cina tengah ( Bellwood , 2000: 353). Kajian varietas modern memperiihatkan bahwa padi memiliki kepekaan terhadap panjang-pendeknya siang (photoperiod) dan kekuatan sinar matahari (0ka, 1988, dalam Bellwood , 2000). Dengan demikian pembudidayaannya, khususnya penanaman disesuaikan dengan kondisi klimatologisnya. Selain dimensi alam, bagi komunitas peladang Lio-Ende, penanaman padi khususnya, dan semua tanaman hortikultura asli umumnya, tidaklah dilakukan begitu saja ketika datang musim hujan. Berdasarkan amanat di ataslah mereka selalu taat melakukan ritual-ritual berdasarkan adat setempat dalam lingkaran hidup perladangan, seperti juga dalam lingkaran hidup manusia sejak lahir, dewasa, menikah, dan meninggal kendati ritual dalam kehidupan manusia dewasa ini sudah semakin sirna.
Dalam masyarakat adat dan kebudayaan Lio-Ende, ritual adat, baik dalam lingkaran hidup manusia maupun lingkaran hidup perladangan, ritual sebagai konsep budaya diekspresikan atau diungkapkan secara verbal nggua bapu. Mbete et.al (2006) secara singkat telah memperkenalkan dan memberikan sejumlah ritual, upacara, dalam kehidupan masyarakat Etnik Lio-Ende sebagai awal dari proses buka ladang baru untuk memulai tanaman padi, Nggua bapu biasanya dilaksanakan pada sekitaran bulan oktober,november maupun desember tergantung pada kewenangan masing-masing Mosalaki dari daerah tertentu, Dalam lingkaran dan peredaran tahun adat, tata waktu juga ada dalam kalender adat dengan pilahan waktu dalam satuan bulan. Pembagian waktu dengan satuan bulan itu tetap berkaitan dengan kosmologi mereka, dengan alam (tana watu), musim hujan dan musim panas sehingga bulan dan matahari tetap menjadi patokan waktu. Kendati banyak perubahan, pada dasarnya pelaksanaan ritual perladangan masih tetap ada dalam kehidupan perladangan masyarakat Lio-Ende.
Sumber dan landasan ideologi kolektif etnik Lio Ende, demikian juga amanat leluhur mereka tetap dimiliki dan diyakini, setidak-tidaknya oleh generasi tua dan kalangan elite tradisional yakni para Mosalaki (Ketua adat). Landasan ideologis ritual perladangan khususnya memang berkaitan dengan filsafat hidup yang bersifat kosmologis, Alam, khususnya lahan 'tana watu' dalam arti khusus adalah kekuatan dan sumber daya yang harus dipelihara dan dihormati, apalagi dalam persepsi masyarakat setempat, Tana-Watu adalah simbol atau tanda persekutuan yang mesrah antara tana ‘tanah’ dan watu ‘batu’, masing-masing sebagai simbol perempuan (tana) dan laki-laki (watu) dalam paduan Tubumusu Lodonda. Itulah juga sebabnya, tanah atau lahan garapan dipelihara sebaik-baiknya. Alam dengan sumberdaya adalah kekuatan yang bersifat "adikodrati", melampaui kekuatan manusia dan merupakan pancaran kekuatan dan kemahakuasaan Du'a Ngga'e, (Allah Maha Besar) dalam bahasa Lio ialah Du'a Gheta Lulu Wula, Ngga'e Ghale Wena Tana. Dalam konteks ini, setelah penghormatan dan pemeliharaan keserasian hubungan dengan Sang Khalik, Du'a Ngga'e, dan dengan para leluhur, Embu Mamo Ku Kajo dalam dimensi vertikal, di sisi lain pemeliharaan dan pemulihan hubungan dengan sesama dalam dimensi horizontal (soliditas, integritas, dan solidaritas kelornpok kekerabatan), merupakan makna dan fungsi dasar ritual dalam lingkaran hidup perladangan tradisional Lio-Ende.
![]() |
Gambar: Ritual adat ketika padi dimasukan dalam sajian menurut adat setempat (Benga Pare). |
Ritual perladangan berlangsung beberapa kali dalam setahun, berawal dari pembukaan hutan untuk ladang baru (Pura uma ndu'a), penolakan bala (hama dan penyakit, joka ngola atau joka ju), penanaman perdana, panen perdana, syukur keberhasilan panen, yang di antaranya juga diselingi dengan ritual-ritual khusus yang bervariasi antar sub etnik di berbagai wilayah tertentu (NIDA, UNGGU, LISE, NDONDO serta daerah lainnya). Berkaitan dengan mitos di atas, makna, prosedur, dan sarana atau perlengkapan utama memang harus dipenuhi dan prodedurnya dipatuhi. Sehubungan itu, batu kesuburan sebagai penerusan tradisi megalitik dan penggunaan emas, merupakan keharusan dalam ritual perladangan itu. Prosedur dan tata cara memang dipedomani oleh para mosalaki sesuai dengan struktur dan fungsi masing-masing. Keabsahan ritual justru di prasyaratkan dengan penggunaan benda-benda tersebut selain tata urut yang baku . Budaya Perladangan dan Khazanah Hortikultura Budaya Perladangan Sekilas Lintas Seperti telah diuraikan secara singkat di atas, lebih dari 85% masyarakat Lio-Ende umumnya adalah petani (RPJM Kabupaten Ende,2006), dan sebagian besarnya adalah peladang. Mengolah lahan dalam konteks budaya perladangan oleh komunitas peladang Lio-Ende dikenal dengan ungkapan Kema Bene atau Gaga Bene. Lebih luas lagi kultur perladangan yang menggunakan sistem terpadu (integrated system) dengan adanya beternak ayam, babi, kambing itu ditopang oleh nilai-nilai dan etos kerja yang terwaris antar generasi. Nilai-nilai dan etos kerja itu tersirat dalam ungkapan paralelisme: Gaga bo'o kewi ae, kema noe wesi nuwa "keberhasilan berladang dan mengolah nira, budi daya ladang dan keberhasilan beternak", sedangkan etos kerja tersirat di balik ungkapan: muri dau kema, raka kumu dubu lima bita (hidup harus bekerja hingga tangan berlumpur dan kuku menumpul). Selanjutnya, dalam menggunakan waktu secara efektif, hendaklah poa buga mila walo "bekerjalah sepagi dini hingga sore hari". Ungkapan yang menyiratkan etos kerja itu memang dewasa ini lebih dikenal oleh generasi tua, apalagi etos kerja itu selalu mengacu pada perladangan atau pertanian yang sudah mulai kurang diapresiasi oleh kaum muda di daerah lio-ende.
Perubahan memang telah terjadi dengan didasari perkembangan jaman yang berbeda, dalam arti nilai kerja ladang bergeser dari sebagian generasi muda Lio-Ende, namun, sumber daya ladang itu tetap menjadi andalan selain penyediaan lapangan kerja alternatif baru hasil pendidikan. Ladang atau lebih akrab disebut uma (kebun), jamaknya uma-rema, sampai kapanpun tetap menjadi andalan masyarakat di Kabupaten Ende bahkan juga sebagian besar masyarakat Nusantara. Mereka tetap mengolah lahan di tanah-tanah warisan leluhur mereka. Ladang mereka bermula dari lahan atau kaplingan (ngebo) yang dihutankan selama empat-lima tahun setelah menjadi uma, ditanam dengan padi, jagung, sorgum, kacang-kacangan, sayur-sayuran, umbi-umbian, dan setelah tiga-empat kali ditanam, dihutankan kembali. Hortikultura, dengan tetap menjadikan padi ladang sebagai tanaman utama itulah yang selalu diupacarakan pada setiap tahapannya sejak pembukaan hutan pertama kali. Pada umumnya para peladang Lio-Ende hingga kini tetap mengolah ladang dan membudidayakan padi, jagung, dan sorgum. Ketiga tanaman itu, selain ubikayu dan pisang menjadi makanan pokok, di samping kacang-kacangan serta umbi-umbian (uwi, rose, suja, ndelo) dan sebagainya. Singkong, ketela pohon, atau ubikayu, dalam sejumlah varietasnya pada umumnya menjadi tanaman penutup sebelum dihutankan kembali, Terlepas dari mitos yang diyakini oleh komunitas peladang Lio-Ende, padi ladang Lio memang merupakan fenomena kultural yang menarik untuk dikaji. Seperti yang diuraikan oleh Sarenbao (1992), wilayah Lio, memang dihipotesiskan menjadi asal-muasal tanaman padi ladang.
Kendati bersifat mitis, realitas di lapangan dapat dijadikan dasar untuk memperkuat derajat kebenaran pernyataan itu. Budaya dan budi daya padi ladang di Lio, tergolong tua budaya padi itu, dapat dimaknai dari rumitnya ritual padi sebagai tanda penghormatan dan atau penghargaan pada jenis tanaman karena memang menjadi makanan pokok urutan teratas. Menikmati nasi sebagaimana juga banyak bangsa di dunia, tidaklah hanya demi kepenuhan kalori dan gizi. Menikmati nasi memberikan kepuasan tertinggi, apalagi dalam konteks sosial-budaya. Betapa tingginya posisi nasi dari beras yang juga harus ditumbuk tangan (manual), bukan penyosohan, dan berasal dari padi ladang asli, itulah yang paling layak disuguhkan saat ritual pati ka, "upacara pemberian santapan khusus bagi leluhur ketika ada pesta adat seperti mi are atau makan nasi dari hasil panen tanaman padi tersebut". Hal yang sama dalam kehidupan sosial, juga hanya nasi pula yang layak disajikan kepada tamu dengan bermacam sajian hasil olahan seperti nasi merah dan putih kekuningan.
Padi ladang memang menempati tempat terhormat dalam konteks perladangan sebagaimana saratnya nilai ritual yang disandangnya. Ritual perladangan tetap berpusat pada padi ladang asli milik warga komunitas peladang Lio-Ende. Benih padi yang akan ditanam, wini pare, sebelum ditanam harus disandingkan dengan emas, sebagaimana amanat mitos Ine Pare dalam sastra suci Bobi dan Nombi. Saat menanam pun diperlakukan dan disikapi dengan penuh hormat. Sikap ini jelas sangat berbeda ketika peladang menanam jagung, kacang, dan tanaman-tanaman pengiring lainnya.
DATA LAPANGAN :
![]() |
Gambar: Ritual adat padi ketika ingin membersihkan kulit dari bulirnya /Tumbuk Padi (Dhu Pare) |
Sebagai pusat dan lokasi asal-muasal padi lokal, kenyataan di dalam perladangan dan komunitas peladang Lio pun mendukung kebenaran pernyataan tersebut. Dalam konteks perladangan Lio, varietas padi ladang cukup banyak. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, ada belasan jenis padi lokal. Berikut nama-nama jenis padi ladang asli yang dimaksudkan itu. Ada (1) pare ndale, (2) pare rebo (induk padi khusus bagi para tetua adat, mosalaki), (3) pare laka, (4) pare menge, (5) pare Jcobo mota, (6) pare taki, (7) pare mufa lo'o, (8) pare mufa ria, (9) pare maru, (10) pare kea, (11) pare mboka rawa, (12) pare nggondo, (13) pare ndota, (14) pare sera, (15) pare kaja, dan (16) pare raja. Bentuknya, karena ada yang bulat, bulat panjang, dan bulat lonjong, pipih, dan di antaranya berekor, maupun aroma rasanya juga berbeda-beda. Disebut pare menge misalnya karena rasa nasi dari jenis ini sangat gurih dan lezat, seperti halnya juga pare maru. Jenis pare menge inilah yang sudah dibudidayakan oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Ende sejak beberapa tahun silam. Di sisi lain, jenis pare maru dijadikan juga seni wena, yaitu jenis bibit padi yang ditanam di pangkal ladang. Selain ke-16 jenis itu, diduga masih ada jenis varietas yang belum diidentifikasi lebih lanjut. Banyaknya jenis padi ini dapat dihipotesiskan sebagai hasil persilangan antarjenis secara alamiah sehingga menghadirkan jenis-jenis varietas sebanyak itu. Pembiakan alamiah itu jelas terjadi jika di suatu lokasi memang tersedia lebih dari dua varietas.
Pengenalan atau tingkat kedekatan serta perlakuan teradap varietas padi ladang juga berbeda-beda. Hal ini terkait dengan klen atau keluarga batih. Dalam komunitas peladang Lio, setiap klen (Clan) hanya boleh menanam satu jenis padi utama, selain seniwena. Yang dimaksudkan ialah bahwa suatu keluarga besar atau keluarga batih, hanya memilih varietas satu jenis padi saja sebagai bibit (wini) misalnya pare laka saja, atau pare ndale saja untuk dijadikan benih padi turun-temurun. Penggantian bibit atau wini haruslah dengan ritual tertentu. Dalam kepercayaan komunitas peladang Lio, jika tanah atau lahan subur misalnya pada penanaman perdana atau tahun pertama setelah pembukaan hutan baru, yang dalam ungkapan setempat dikenal dengan uma ndu'a dan hujan pun turun secara teratur dan memadai, namun terjadi gagal panen, misalnya kena hama dan penyakit, kegagalan itu selalu dikaitkan dengan kesalahan prosedural adat penanaman, atau ada sebab-sebab lainnya karena selalu diikatkan dengan adat dan budaya yang kental.
REFERENSI:
1). Rahardi, F. 2015. Ine Pare. Nusa Indah.
2). Mbete,Aron meko.1992.Cerita Rakyat Lio jakarta:Pusat Pembinaan dan pengembangan bahasa departemen pendidikan dan kebudayaan
3). Data lapangan wilayah Tana NIDA, Kecamatan Detukeli, kabupaten Ende, NTT
4). Narasumber: Bapak Raymundus Rada (salah satu Mosalaki Tana NIDA)
6). Sumber gambar: sdr. Maria Devidevita Mbaru, A.md Kep
Kiasan :
Penyaji sendiri adalah Putra asli Tana NIDA sehingga benar-benar memahami tulisan ini baik dalam bahasa setempat Etnik Lio-ende maupun budaya serta adatnya yang begitu kental.
jika ingin tau lebih banyak berkunjunglah..!
Bagi para pembaca yang mungkin lebih memahami mengenai tulisan ini, mohon krtik dan saran yang dapat membangun penyaji.
Wah bagus sekali fransiskus😇
ReplyDeleteIya.Terimakasih ❣️
Deletenice story..
ReplyDeleteplease write more something that relate with our culture and tradition..especially lio ethnic.
okay Thank you very much for your input, I will always try it in another version about Lio's ethnic culture and customs
DeleteMantap Aji Rian
ReplyDelete